Berita ini sebenarnya saya tulis pada bulan Maret 2010. Namun yang paling membuat saya terkesan adalah bahwa berita ini secara riil berguna bagi orang lain. Saya senang. Saat itu berita ini terpublish di sebuah koran yang memiliki segmentasi pasar Jawa Tengah dan Jogjakarta. Kemudian terbaca oleh seorang bapak dari Semarang yang anaknya mengalami Autisme. Dengan semangat, bapak ini menelelepon ke kampus saya untuk meminta nomor Revani agar bisa berkonsultasi mengenai senam autis tersebut. Revani adalah narasumber dalam berita ini sekaligus yang menggagas ide senam untuk anak autis ini. Intinya, apa yang saya tulis pernah berguna untuk orang lain :)
Senam Otak, Terapi Meminimalisir Gejala Autisme
Secara psikologis, autisme dipahami sebagai keadaan seseorang yang lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Sehingga sering kali penyandang autis selalu sibuk dengan ‘dunia’nya sendiri. Di Indonesia, pada tahun 2009 diperkirakan ada 475 ribu penyandang autis. Sedangkan di wilayah DIY ada 357 anak autis yang tersebar di 61 SLB di lima Kabupaten di provinsi DIY.
Autisme memang merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Namun, walaupun gangguan neurobiologis tidak bisa diobati, tapi gejala-gejalanya bisa diminimalisir dengan menggunakan terapi. Namun biasanya terapi sangat mahal berkisar 750 ribu sampai 3 juta per bulan, tergantung kebijakan penyelenggara terapi.
Mahalnya biaya terapi inilah yang kemudian melatarbelakangi sekelompok mahasiswa Kedokteran Umum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KU-UMY) yakni Revani Dewinta Lestarin, Yunita Puji Lestari, Muhammad Nor Tauhid, dan Ragil Adi.S, memilah terapi untuk mengurangi gejala autisme yang tidak menghabiskan biaya terlalu besar.
”Ada terapi yang murah dan bisa digunakan bukan hanya di SLB saja, namun bisa juga dilakukan di rumah yaitu senam otak atau Brain Gym,”ungkap Revani saat ditemui di Kampus Terpadu UMY, Sabtu (6/2).
Menurut Revani berbagai gejala autisme, beberapa di antaranya seperti mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengeri orang lain, tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan orang lain, memiliki perilaku ritualistik, Sering mengamuk tidak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif bisa diminimalisir dengan senam otak tersebut.
“Terapi senam otak ini bisa menjadi salah satu solusi karena senam merupakan teknik elektrik yang membantu otak dan tubuh bekerja lebih efektif secara bersamaan,”paparnya. Gerakan senam otak juga meningkatkan komunikasi otak, ada tiga komunikasi yakni komunikasi otak kanan dengan otak kiri, otak depan dan otak belakang, serta otak atas dan bawah. Komunikasi ini berguna untuk meningkatkan efisisensi dari informasi sensorik yang paling berguna bagi autis.
“Gerakan dalam senam otak pun bervariasi seperti membuat coretan ganda dalam waktu bersamaan, menggelakkan anggota tubuh menggerakkan secara bergantian pasangan kaki dan tangan yang berlawanan, menaktifkan tangan, melambaikan kaki dan masih banyak gerakan yang lainnya,”paparnya.
Saat ini Revani dan tim sedang melakukan penelitian mengenai pengaruh senam otak terhadap kualitas komunikasi, interaksi sosial dan pemfokusan pemahaman pada anak autis di dua SLB di Yogyakarta, yakni SLB Bina Anggita Banguntapan Bantul Yogyakarta sebagai sampel dan SLB Dian Amanah Sleman Yogyakarta sebagai kontrol.
”Di SLB Bina Anggita kita melakukan terapi senam otak terhadap anak-anak autis di sekolah tersebut, sedangkan di SLB Dian Amanah tidak kita lakukan, Sehingga kita bisa melihat perbandingan antara penderita autis yang di beri terapi senam otak dan yang tidak di beri,”ungkapnya.
Menurut Revani, senam otak cukup dilakukan dalam waktu 15 menit saja sehari. “Dalam waktu 15 menit itu sudah mampu mengurangi gejala-gejala autisme tersebut,”paparnya. Revani dan tim juga membagikan CD senam otak kepada orang tua siswa di SLB Bina Anggita, agar para orang tua bisa secara kontiniu melakukan senam otak pada putra-putrinya.
“Harapan kita, Senam otak ini bisa menjadi terapi alternatif yang murah dan praktis bagi penderita autis, di tengah-tengah mahalnya biaya terapi,”tandasnya.(adit)
NB: Foto saya ambil dari Google.
Autisme memang merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Namun, walaupun gangguan neurobiologis tidak bisa diobati, tapi gejala-gejalanya bisa diminimalisir dengan menggunakan terapi. Namun biasanya terapi sangat mahal berkisar 750 ribu sampai 3 juta per bulan, tergantung kebijakan penyelenggara terapi.
Mahalnya biaya terapi inilah yang kemudian melatarbelakangi sekelompok mahasiswa Kedokteran Umum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KU-UMY) yakni Revani Dewinta Lestarin, Yunita Puji Lestari, Muhammad Nor Tauhid, dan Ragil Adi.S, memilah terapi untuk mengurangi gejala autisme yang tidak menghabiskan biaya terlalu besar.
”Ada terapi yang murah dan bisa digunakan bukan hanya di SLB saja, namun bisa juga dilakukan di rumah yaitu senam otak atau Brain Gym,”ungkap Revani saat ditemui di Kampus Terpadu UMY, Sabtu (6/2).
Menurut Revani berbagai gejala autisme, beberapa di antaranya seperti mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengeri orang lain, tidak ada usaha untuk berinteraksi dengan orang lain, memiliki perilaku ritualistik, Sering mengamuk tidak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif bisa diminimalisir dengan senam otak tersebut.
“Terapi senam otak ini bisa menjadi salah satu solusi karena senam merupakan teknik elektrik yang membantu otak dan tubuh bekerja lebih efektif secara bersamaan,”paparnya. Gerakan senam otak juga meningkatkan komunikasi otak, ada tiga komunikasi yakni komunikasi otak kanan dengan otak kiri, otak depan dan otak belakang, serta otak atas dan bawah. Komunikasi ini berguna untuk meningkatkan efisisensi dari informasi sensorik yang paling berguna bagi autis.
“Gerakan dalam senam otak pun bervariasi seperti membuat coretan ganda dalam waktu bersamaan, menggelakkan anggota tubuh menggerakkan secara bergantian pasangan kaki dan tangan yang berlawanan, menaktifkan tangan, melambaikan kaki dan masih banyak gerakan yang lainnya,”paparnya.
Saat ini Revani dan tim sedang melakukan penelitian mengenai pengaruh senam otak terhadap kualitas komunikasi, interaksi sosial dan pemfokusan pemahaman pada anak autis di dua SLB di Yogyakarta, yakni SLB Bina Anggita Banguntapan Bantul Yogyakarta sebagai sampel dan SLB Dian Amanah Sleman Yogyakarta sebagai kontrol.
”Di SLB Bina Anggita kita melakukan terapi senam otak terhadap anak-anak autis di sekolah tersebut, sedangkan di SLB Dian Amanah tidak kita lakukan, Sehingga kita bisa melihat perbandingan antara penderita autis yang di beri terapi senam otak dan yang tidak di beri,”ungkapnya.
Menurut Revani, senam otak cukup dilakukan dalam waktu 15 menit saja sehari. “Dalam waktu 15 menit itu sudah mampu mengurangi gejala-gejala autisme tersebut,”paparnya. Revani dan tim juga membagikan CD senam otak kepada orang tua siswa di SLB Bina Anggita, agar para orang tua bisa secara kontiniu melakukan senam otak pada putra-putrinya.
“Harapan kita, Senam otak ini bisa menjadi terapi alternatif yang murah dan praktis bagi penderita autis, di tengah-tengah mahalnya biaya terapi,”tandasnya.(adit)
http://jurnal.umy.ac.id/
ReplyDelete